SPONSOR
Pasang Iklan Murah Di Blog Ini
Pasang Iklan Murah Di Blog Ini
Pasang Iklan Murah Di Blog Ini
Pasang Iklan Murah Di Blog Ini

Sabtu, 19 April 2014

PESANTREN DAN PERAN SANTRI DALAM PERUBAHAN SOSIAL

Santri Pesantren Al Manar
 Saat ini perubahan sosial sebagai dampak kemajuan teknologi informasi telah meletakkan Indonesia kontemporer ke dalam pusaran mega persoalan yang sangat kompleks. Secara kasat mata, hal ini dapat ditelusuri dari degradasi moral yang berkecambah di mana-mana, semisal korupsi, memudarnya solidaritas sosial hingga ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kenyataan ini menuntut setiap elemen bangsa untuk ikut serta terlibat menyelesaikannya. Sebab pembiaran hal itu akan mengantarkan Indonesia lambat atau cepat pada akhir sejarahnya.

Berbicara tentang penyelesaian persoalan yang dihadapi Indonesia tersebut, pesantren sejatinya sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab. Bahkan sampai derajat tertentu, pesantren seharusnya menjadi garda depan yang dapat mengukir terobosan solusi kreatif untuk masa depan Indonesia yang jauh lebih baik.

Ada beberapa alasan dasar yang menjadikan pesantren dituntut untuk berperan demikian. Selain pesantren (dan elemen-lemennya) sebagai bagian intrinsik umat Islam yang mayoritas di Indonesia, aspek lain yang tidak bisa diabaikan adalah posisi pesantren yang sampai derajat tertentu merupakan representasi Islam Indonesia.

Persoalan yang kemudian mencuat ke permukaan, kondisi pesantren saat ini untuk berada di depan dalam memberikan solusi tampaknya masih jauh panggang dari api. Banyak aspek internal dan eksternal yang menjadi kendala untuk meraih peran tersebut. Kondisi semacam ini meniscayakan masyarakat pesantren untuk membincang hal tersebut secara serius, intens, dan berkelanjutan. Melalui pencanderaan ini, posisi pesantren diharapkan tidak akan membuih dalam kesia-siaan, dan pada gilirannya masa depan Indonesia yang ideal bisa berada dalam gapaian.

Kesejarahan Pesantren

Pesantren sebagai bagian intrinsik dari mayoritas muslim Indonesia dapat ditelusuri dari aspek historis pesantren yang keberadaannya relatif cukup lama. Penelitian tentang pesantren menyebutkan, pesantren sudah hadir di bumi nusantara seiring dengan penyebaran Islam di bumi pertiwi ini. Ada yang menyebutkan, pesantren sudah muncul sejak abad akhir abad ke-14 atau awal ke-15, didirikan pertama kali oleh Maulana Malik Ibrahim yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Sunan Ampel.[1]Namun berdasarkan data yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, pesantren dalam pengertiannya yang sesungguhnya tumbuh-kembang sejak akhir abad ke-18. Dalam hal ini, Tegalsari dianggap sebagai pesantren tertua.[2]

Terlepas kapan pertama kali muncul, tapi pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam Indonesia pertama yangindigenous. Sebagai misal, pendidikan yang dikembangkan sangat mengapresiasi, tapi sekaligus mampu mengkritisi budaya lokal yang berkembang di masyarakat luas. Karena itu, meskipun kurikulum pendidikan yang dikembangkan ditekankan pada pola yang mirip dengan dunia Islam lain yang menganut fiqh mazhab Shafii,[3] namun pola ini dikembangkan secara terpadu dengan warisan keislaman Nusantara yang telah muncul dan berkembang sebelumnya, yaitu (mistisisme) tasawuf. Amalgamasi keilmuan ini melahirkan intelektualitas dengan nuansa fiqh-sufistik,[4] yang sangat akomodatif terhadap tradisi dan budaya Nusantara yang ada saat itu. Kurikulum ini kemudian dirumuskan dalam visi pesantren yang sangat sarat dengan orientasi kependidikan dan sosial.

Fiqh-sufistik yang dianut pesantren tersebut sangat berwatak transformatif yang menjadikan pesantren memiliki kemampuan untuk menyandingkan nilai-nilai universal Islam dengan kehidupan nyata. Dalam bahasa lain, sebermula sekali pesantren menyebarkan ajaran Islam, lembaga ini telah berupaya untuk melakukan kontekstualisasi Islam dengan realitas kehidupan yang ada. Islam normatif yang absolut dan meta-historis didialogkan dengan ruang dan waktu yang berkembang saat itu.

Melalui pendekatan semacam itu, pesantren pada satu pihak menekankan kepada kehidupan akhirat serta kesalehan sikap dan perilaku, dan pada pihak lain pesantren memiliki apresiasi cukup tinggi atas tradisi-tradisi lokal.[5] Keserba-ibadahan, keikhlasan, kemandirian, cinta ilmu, apresiasi terhadap khazanah intelektual muslim klasik dan nilai-nilai sejenis menjadi anutan kuat pesantren yang diletakkan secara sinergis dengan kearifan budaya lokal yang berkembang di masyarakat. Berdasar pada nilai-nilai Islam yang dipegang demikian kuat ini, pesantren mampu memaknai budaya lokal tersebut dalam bingkai dan perspektif keislaman. Dengan demikian, Islam yang dikembangkan pesantren tumbuh-kembang sebagai sesuatu yang tidak tidak asing di bumi Nusantara. Islam bukan sekadar barang tempelan, tapi menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Pola dan pendekatan itu tampaknya sangat menjanjikan bukan hanya bagi perkembangan Islam di Nusantara, tapi juga bagi keberadaan Nusantara yang nantinya memetamorfosis menjadi Indonesia. Memodifikasi pernyataan A. H. John, sebagaimana dikutip Dhafier, pesantren memiliki peran sangat menentukan dalam membentuk watak keislaman kerajaan-kerajaan Nusantara dan dalam penyebaran Islam ke pelosok-pelosok negeri.[6] Perkembangan Islam Nusantara menjadi tidak terlepaskan dari peran pesantren dan santri.

Berdasar pada keislaman pesantren itu, masyarakat santri pada masa-masa awal dan pertengahan memunculkan diri sebagaipious-transformative community; masyarakat yang mengedepankan kesalehan yang selalu melakukan transformasi sosial. Terlepas dari kekurangan dan kelemahan yang mereka alami, mereka selalu berupaya berada dalam garis depan untuk melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat lingkungan mereka, dan mengembangkan kehidupan di mana pun mereka berada. Pesantren sampai batas tertentu mampu mengantarkan masyarakat Muslim Nusantara (dan nantinya Indonesia) sebagai khalifah Allah yang bekomitmen untuk mengembangkan kehidupan sebaik mungkin di mana dan kapan saja mereka hidup. Maka, pandangan semacam di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung menjadi anutan kuat santri, masyarakat muslim hasil pendidikan pesantren. Pada sisi ini, peran mereka dalam melawan penjajahan, pembentukan negara Indonesia, dan mengisi kemerdekaan menjadi tinta emas yang menghiasi sejarah Nusantara dan Indonesia.

Tantangan Kontemporer dan Enertia Masyarakat Santri

Paparan sebelum ini merupakan peran yang diambil pesantren pada masa-masa lalu. Saat ini peran signifikan pesantren dan masyarakat santri tersebut nyaris menjadi sekadar kenangan. Menghadapi perubahan sosial yang demikian cepat dan rumit dengan ikon globalisasinya, santri berada dalam inertia yang cukup akut. Mereka bukan saja tidak mampu merespon perubahan secara kritis dan kreatif, namun lebih dari itu mereka tampak diam sehingga terseret sadar atau tidak dalam gelembung globalisasi atau perubahan sosial. Ironisnya, ketika mereka jauh terseret dalam pusaran perubahan itu, pada umumnya mereka terlempar pada salah satu dari dua kondisi yang sama-sama tidak menguntungkan; at home dalam kangkangan kehidupan yang tentunya jauh dari nilai-nilai luhur pesantren, atau terjebak dalam sikap reaksioner yang menjadikan mereka dalam angan-angan utopis.

Banyaknya masyarakat santri yang tergila-gila dalam dunia politik kekuasaan pada satu pihak, dan menyeberangnya sebagian mereka ke dalam keberagamaan literalistik-fundamentalistik pada pihak yang lain merupakan secuil contoh konkret yang menohok dengan telak peran pesantren. Menguatnya syahwat politik pada masyarakat santri ini memperlihatkan betapa pragmatisme, kesesaatan, dan sejenisnya telah menggantikan posisi nilai keikhlasan dan keserba-ibadahan yang sebelumnya menjadi simbol kental kepesantrenan. Demikian pula, ketertarikan mereka ke dalam pandangan keagamaan fundamentalisme merupakan representasi tercerabutnya mereka dari tradisi sosial dan intelektual pesantren.

Keberlangsungan fenomena ini selain akan menampar eksistensi keindonesiaan, pada gilirannya nanti juga akan menggugat eksistensi pesantren dan segala nilai dan ajaran yang dianutnya. Bila hal itu yang terjadi secara berkeanjutna, maka Indonesia berada dalam ambang kehancuran. Pesantren pun sejatinya berada dalam kondisi setali tiga uang.

Peran Ideal Santri

Fenomena kelabu tersebut menuntut kaum santri untuk segera mengambil peran signifikan. Berdasarkan nilai anutan pesantren, dan sejarah yang dilaluinya, peran yang harus dimainkan mereka tampak kelihatan dalam dua aspek yang saling berkelindan, pendidikan-keilmuan dan sosial. Dengan demikian, santri mau tidak mau dituntut menghadirkan diri sebagai intelegensia muslim Indonesia. Sebagai intelegensia muslim, mereka tidak hanya harus memiliki kelusaan ilmu-ilmu keislaman, namun juga melakukan transformasi kehidupan. Ilmu-ilmu yang dikuasai perlu dibumikan ke dalam kenyataan yang mengejawantah dalam bentuk pemberdayaan atau dan penguatan masyarakat. Santri harus melakukan pencerahan kehidupan bagi masyarakat luas.

Di samping itu, berbeda dari intelegensia muslim lainnya, masyarakat santri berkewajiban menyantuni ruang, tempat mereka merajut kehidupan, sebagaimana pula menghargai waktu yang membuat mereka dari saat ke saat dapat berkiprah dalam kehidupan. Mereka dituntut untuk menyadari bahwa mereka tidak hidup dalam ruang hampa dan tidak berwaktu. Mereka adalah bagian dari masyarakat Indonesia dalam suatu masa yang tidak pernah berulang.

Semua ini mengindikasikan bahwa persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini bisa (dan tampaknya memang) berbeda dengan persoalan yang ada di tempat lain dan waktu-waktu sebelumnya. Di sini dan saat ini ada kemiskinan, dan keterbelakangan yang berada dalam kesenjangan cukup lebar dengan kekayaan sebagian elit, dan pendidikan sebagian kecil masyarakat. Sejalan dengan itu, pemudaran nilai-nilai luhur agama mulai menggunung. Dampaknya, kemiskinan bukan sekadar persoalan kemiskinan. Keterbelakangan bukan sekadar keterbelakangan semata. Dua persoalan itu telah menjadi masalah rumit yang menempel pada degradasi moral. Kemiskinan dan keterbelakangan lalu menjadi barang komoditas yang diperdagangkan sebagaimana pula agama juga telah ditarik oleh kelompok atau orang tertentu ke dalam dunia komodifikasi.

Pada tataran itu, masyarakat santri harus bersikap; suatu sikap yang menuntut kearifan tersendiri, suatu sikap yang dapat memberikan ruang cukup lebar bagi keberlangsungan dan pencerahan kehidupan.

Catatan Penutup

Untuk menentukan sikap yang tepat, dan respon yang transformatif, kaum santri niscaya memiliki cakrawala pandangan yang luas, dan metodologi yang tepat, yang didasarkan seutuhnya pada nilai-nilai luhur pesantren.

Menyambut hal itu, pesantren harus melakukan sejumlah rekonstruksi, dari pengembangan kurikulum pendidikan yang harus lebihviable, hingga penataan manajemen yang lebih kondusif. Pesantren harus bangun dari tidur panjangnya, melihat realitas yang berkembang secara holistik, dan kemudian menenentukan langkah-langkah konkret yang strategis dan sistematis.


Source : http://nandaputra.blogdetik.com/2011/11/28/pesantren-dan-peran-santri-dalam-perubahan-sosial/

0 komentar:

Posting Komentar