SPONSOR
Pasang Iklan Murah Di Blog Ini
Pasang Iklan Murah Di Blog Ini
Pasang Iklan Murah Di Blog Ini
Pasang Iklan Murah Di Blog Ini

Sabtu, 19 April 2014

PESANTREN DAN PERAN SANTRI DALAM PERUBAHAN SOSIAL

Santri Pesantren Al Manar
 Saat ini perubahan sosial sebagai dampak kemajuan teknologi informasi telah meletakkan Indonesia kontemporer ke dalam pusaran mega persoalan yang sangat kompleks. Secara kasat mata, hal ini dapat ditelusuri dari degradasi moral yang berkecambah di mana-mana, semisal korupsi, memudarnya solidaritas sosial hingga ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kenyataan ini menuntut setiap elemen bangsa untuk ikut serta terlibat menyelesaikannya. Sebab pembiaran hal itu akan mengantarkan Indonesia lambat atau cepat pada akhir sejarahnya.

Berbicara tentang penyelesaian persoalan yang dihadapi Indonesia tersebut, pesantren sejatinya sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab. Bahkan sampai derajat tertentu, pesantren seharusnya menjadi garda depan yang dapat mengukir terobosan solusi kreatif untuk masa depan Indonesia yang jauh lebih baik.

Ada beberapa alasan dasar yang menjadikan pesantren dituntut untuk berperan demikian. Selain pesantren (dan elemen-lemennya) sebagai bagian intrinsik umat Islam yang mayoritas di Indonesia, aspek lain yang tidak bisa diabaikan adalah posisi pesantren yang sampai derajat tertentu merupakan representasi Islam Indonesia.

Persoalan yang kemudian mencuat ke permukaan, kondisi pesantren saat ini untuk berada di depan dalam memberikan solusi tampaknya masih jauh panggang dari api. Banyak aspek internal dan eksternal yang menjadi kendala untuk meraih peran tersebut. Kondisi semacam ini meniscayakan masyarakat pesantren untuk membincang hal tersebut secara serius, intens, dan berkelanjutan. Melalui pencanderaan ini, posisi pesantren diharapkan tidak akan membuih dalam kesia-siaan, dan pada gilirannya masa depan Indonesia yang ideal bisa berada dalam gapaian.

Kesejarahan Pesantren

Pesantren sebagai bagian intrinsik dari mayoritas muslim Indonesia dapat ditelusuri dari aspek historis pesantren yang keberadaannya relatif cukup lama. Penelitian tentang pesantren menyebutkan, pesantren sudah hadir di bumi nusantara seiring dengan penyebaran Islam di bumi pertiwi ini. Ada yang menyebutkan, pesantren sudah muncul sejak abad akhir abad ke-14 atau awal ke-15, didirikan pertama kali oleh Maulana Malik Ibrahim yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Sunan Ampel.[1]Namun berdasarkan data yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, pesantren dalam pengertiannya yang sesungguhnya tumbuh-kembang sejak akhir abad ke-18. Dalam hal ini, Tegalsari dianggap sebagai pesantren tertua.[2]

Terlepas kapan pertama kali muncul, tapi pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam Indonesia pertama yangindigenous. Sebagai misal, pendidikan yang dikembangkan sangat mengapresiasi, tapi sekaligus mampu mengkritisi budaya lokal yang berkembang di masyarakat luas. Karena itu, meskipun kurikulum pendidikan yang dikembangkan ditekankan pada pola yang mirip dengan dunia Islam lain yang menganut fiqh mazhab Shafii,[3] namun pola ini dikembangkan secara terpadu dengan warisan keislaman Nusantara yang telah muncul dan berkembang sebelumnya, yaitu (mistisisme) tasawuf. Amalgamasi keilmuan ini melahirkan intelektualitas dengan nuansa fiqh-sufistik,[4] yang sangat akomodatif terhadap tradisi dan budaya Nusantara yang ada saat itu. Kurikulum ini kemudian dirumuskan dalam visi pesantren yang sangat sarat dengan orientasi kependidikan dan sosial.

Fiqh-sufistik yang dianut pesantren tersebut sangat berwatak transformatif yang menjadikan pesantren memiliki kemampuan untuk menyandingkan nilai-nilai universal Islam dengan kehidupan nyata. Dalam bahasa lain, sebermula sekali pesantren menyebarkan ajaran Islam, lembaga ini telah berupaya untuk melakukan kontekstualisasi Islam dengan realitas kehidupan yang ada. Islam normatif yang absolut dan meta-historis didialogkan dengan ruang dan waktu yang berkembang saat itu.

Melalui pendekatan semacam itu, pesantren pada satu pihak menekankan kepada kehidupan akhirat serta kesalehan sikap dan perilaku, dan pada pihak lain pesantren memiliki apresiasi cukup tinggi atas tradisi-tradisi lokal.[5] Keserba-ibadahan, keikhlasan, kemandirian, cinta ilmu, apresiasi terhadap khazanah intelektual muslim klasik dan nilai-nilai sejenis menjadi anutan kuat pesantren yang diletakkan secara sinergis dengan kearifan budaya lokal yang berkembang di masyarakat. Berdasar pada nilai-nilai Islam yang dipegang demikian kuat ini, pesantren mampu memaknai budaya lokal tersebut dalam bingkai dan perspektif keislaman. Dengan demikian, Islam yang dikembangkan pesantren tumbuh-kembang sebagai sesuatu yang tidak tidak asing di bumi Nusantara. Islam bukan sekadar barang tempelan, tapi menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Pola dan pendekatan itu tampaknya sangat menjanjikan bukan hanya bagi perkembangan Islam di Nusantara, tapi juga bagi keberadaan Nusantara yang nantinya memetamorfosis menjadi Indonesia. Memodifikasi pernyataan A. H. John, sebagaimana dikutip Dhafier, pesantren memiliki peran sangat menentukan dalam membentuk watak keislaman kerajaan-kerajaan Nusantara dan dalam penyebaran Islam ke pelosok-pelosok negeri.[6] Perkembangan Islam Nusantara menjadi tidak terlepaskan dari peran pesantren dan santri.

Berdasar pada keislaman pesantren itu, masyarakat santri pada masa-masa awal dan pertengahan memunculkan diri sebagaipious-transformative community; masyarakat yang mengedepankan kesalehan yang selalu melakukan transformasi sosial. Terlepas dari kekurangan dan kelemahan yang mereka alami, mereka selalu berupaya berada dalam garis depan untuk melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat lingkungan mereka, dan mengembangkan kehidupan di mana pun mereka berada. Pesantren sampai batas tertentu mampu mengantarkan masyarakat Muslim Nusantara (dan nantinya Indonesia) sebagai khalifah Allah yang bekomitmen untuk mengembangkan kehidupan sebaik mungkin di mana dan kapan saja mereka hidup. Maka, pandangan semacam di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung menjadi anutan kuat santri, masyarakat muslim hasil pendidikan pesantren. Pada sisi ini, peran mereka dalam melawan penjajahan, pembentukan negara Indonesia, dan mengisi kemerdekaan menjadi tinta emas yang menghiasi sejarah Nusantara dan Indonesia.

Tantangan Kontemporer dan Enertia Masyarakat Santri

Paparan sebelum ini merupakan peran yang diambil pesantren pada masa-masa lalu. Saat ini peran signifikan pesantren dan masyarakat santri tersebut nyaris menjadi sekadar kenangan. Menghadapi perubahan sosial yang demikian cepat dan rumit dengan ikon globalisasinya, santri berada dalam inertia yang cukup akut. Mereka bukan saja tidak mampu merespon perubahan secara kritis dan kreatif, namun lebih dari itu mereka tampak diam sehingga terseret sadar atau tidak dalam gelembung globalisasi atau perubahan sosial. Ironisnya, ketika mereka jauh terseret dalam pusaran perubahan itu, pada umumnya mereka terlempar pada salah satu dari dua kondisi yang sama-sama tidak menguntungkan; at home dalam kangkangan kehidupan yang tentunya jauh dari nilai-nilai luhur pesantren, atau terjebak dalam sikap reaksioner yang menjadikan mereka dalam angan-angan utopis.

Banyaknya masyarakat santri yang tergila-gila dalam dunia politik kekuasaan pada satu pihak, dan menyeberangnya sebagian mereka ke dalam keberagamaan literalistik-fundamentalistik pada pihak yang lain merupakan secuil contoh konkret yang menohok dengan telak peran pesantren. Menguatnya syahwat politik pada masyarakat santri ini memperlihatkan betapa pragmatisme, kesesaatan, dan sejenisnya telah menggantikan posisi nilai keikhlasan dan keserba-ibadahan yang sebelumnya menjadi simbol kental kepesantrenan. Demikian pula, ketertarikan mereka ke dalam pandangan keagamaan fundamentalisme merupakan representasi tercerabutnya mereka dari tradisi sosial dan intelektual pesantren.

Keberlangsungan fenomena ini selain akan menampar eksistensi keindonesiaan, pada gilirannya nanti juga akan menggugat eksistensi pesantren dan segala nilai dan ajaran yang dianutnya. Bila hal itu yang terjadi secara berkeanjutna, maka Indonesia berada dalam ambang kehancuran. Pesantren pun sejatinya berada dalam kondisi setali tiga uang.

Peran Ideal Santri

Fenomena kelabu tersebut menuntut kaum santri untuk segera mengambil peran signifikan. Berdasarkan nilai anutan pesantren, dan sejarah yang dilaluinya, peran yang harus dimainkan mereka tampak kelihatan dalam dua aspek yang saling berkelindan, pendidikan-keilmuan dan sosial. Dengan demikian, santri mau tidak mau dituntut menghadirkan diri sebagai intelegensia muslim Indonesia. Sebagai intelegensia muslim, mereka tidak hanya harus memiliki kelusaan ilmu-ilmu keislaman, namun juga melakukan transformasi kehidupan. Ilmu-ilmu yang dikuasai perlu dibumikan ke dalam kenyataan yang mengejawantah dalam bentuk pemberdayaan atau dan penguatan masyarakat. Santri harus melakukan pencerahan kehidupan bagi masyarakat luas.

Di samping itu, berbeda dari intelegensia muslim lainnya, masyarakat santri berkewajiban menyantuni ruang, tempat mereka merajut kehidupan, sebagaimana pula menghargai waktu yang membuat mereka dari saat ke saat dapat berkiprah dalam kehidupan. Mereka dituntut untuk menyadari bahwa mereka tidak hidup dalam ruang hampa dan tidak berwaktu. Mereka adalah bagian dari masyarakat Indonesia dalam suatu masa yang tidak pernah berulang.

Semua ini mengindikasikan bahwa persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini bisa (dan tampaknya memang) berbeda dengan persoalan yang ada di tempat lain dan waktu-waktu sebelumnya. Di sini dan saat ini ada kemiskinan, dan keterbelakangan yang berada dalam kesenjangan cukup lebar dengan kekayaan sebagian elit, dan pendidikan sebagian kecil masyarakat. Sejalan dengan itu, pemudaran nilai-nilai luhur agama mulai menggunung. Dampaknya, kemiskinan bukan sekadar persoalan kemiskinan. Keterbelakangan bukan sekadar keterbelakangan semata. Dua persoalan itu telah menjadi masalah rumit yang menempel pada degradasi moral. Kemiskinan dan keterbelakangan lalu menjadi barang komoditas yang diperdagangkan sebagaimana pula agama juga telah ditarik oleh kelompok atau orang tertentu ke dalam dunia komodifikasi.

Pada tataran itu, masyarakat santri harus bersikap; suatu sikap yang menuntut kearifan tersendiri, suatu sikap yang dapat memberikan ruang cukup lebar bagi keberlangsungan dan pencerahan kehidupan.

Catatan Penutup

Untuk menentukan sikap yang tepat, dan respon yang transformatif, kaum santri niscaya memiliki cakrawala pandangan yang luas, dan metodologi yang tepat, yang didasarkan seutuhnya pada nilai-nilai luhur pesantren.

Menyambut hal itu, pesantren harus melakukan sejumlah rekonstruksi, dari pengembangan kurikulum pendidikan yang harus lebihviable, hingga penataan manajemen yang lebih kondusif. Pesantren harus bangun dari tidur panjangnya, melihat realitas yang berkembang secara holistik, dan kemudian menenentukan langkah-langkah konkret yang strategis dan sistematis.


Source : http://nandaputra.blogdetik.com/2011/11/28/pesantren-dan-peran-santri-dalam-perubahan-sosial/

MAHASISWA DAN TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30)

KAMI memulai dengan ayat ini sebab

ia sangat berkesan di hati kami dan hati saudara-saudara kami. Inilah kejadian penting dimana Allah memberitakan kepada kita bahwa Ia hendak menciptakan khalifah di muka bumi. Yang akan mengelola bumi itu dengan sebaik-baiknya. Meskipun para malaikat menimpali bahwa manusia itu hanya akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Allah tetap menciptakan manusia. Allah menjawab pertanyaan para malaikat-Nya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui”.

Pernyataan malaikat terbukti benar. Betapa banyak kerusakan terjadi di muka ini. Kerusakan di darat dan di lautan. Lengkap dengan pertumpahan darah yang menyertainya. Allah telah mengingatkan kita tentang hal ini

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) dari perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Ruum: 41)

Telah berlalu sejarah pertempuran dahsyat dalam tiap kurun. Mulai dari yang kecil hingga yang paling besar. Kita mengenal perang dunia 1 dan perang dunia 2. Perang vietnam, konflik-koflik horisontal yang terjadi di berbagai negara. Khususnya di negara kita. Hutan-hutan dijarah dengan rakus. Ekosistem terganggu. Lautan di bom. Membunuh ikan-ikan bahkan yang tidak layak ditangkap. Menghancurkan karang-karang. Mengancam kelestarian biota laut. Semuanya, merupakan bentuk kerusakan yang tampak jelas di depan mata kita.

Telah sangat banyak bukti yang tidak perlu kita uraikan satu per satu untuk menunjukkan betapa rakusnya manusia. Ia telah mendapatkan apa-apa mengenyangkan perutnya, tetapi ternyata belum cukup. Ia telah berpakaian dengan berbagai jenis pakaian bermerk. Yang membuatnya tampak anggun dari yang lain. Namun inipun belum cukup. Rumah sudah memadai dan kendaraan sangat mencukupi, sementara usaha eksploitasi alam juga berjalan tiada henti.

Kami teringat sewaktu kecil dulu. Guru-guru menyemangati kami agar rajin belajar. Dengan berbagai cara. Mulai dari yang paling lembut sampai yang agak kasar. Mulai dari membelai hingga memukul. Guru-guru tentunya ingin anak didiknya belajar dengan baik. Katanya, jika ingin naik kelas kami harus belajar keras. Jika tidak, maka tidak ada yang membantu. Kami akan tinggal kelas terus dan semakin jauh tertinggal dari teman-teman yang rajin belajar. Membayangkan duduk menua di kelas bawah, tentu mengerikan. Maka kami pun mulai sedikit rajin belajar.

Untuk lebih memotivasi, kepada kami diceritakan keberhasilan orang-orang besar yang katanya rajin  belajar sewaktu masih sekolah dasar. Diantaranya ada yang menjadi pengusaha, guru, pejabat, dan lain-lain. Cerita-cerita ini sengaja di jejalkan kepada kami agar sadar dan tentunya rajin belajar.

Tidak terlalu sulit rupanya untuk jadi anak pintar. Sehari-hari mendapat nilai 10. Saat pengumuman peringkat pun selalu masuk peringkat teratas. Kami sangat puas dengan hasil ini. Terutama guru-guru dan orang tua. Pujian pun datang bergelombang. Dalam waktu singkat, anak-anak seperti ini akan menjadi buah bibir dimana-mana. Memuji kepintarannya di sekolah. Tak pelak, anak ini dikatakan akan berhasil menjadi orang ‘sukses’ kelak ketika sudah besar.

Kisah seperti ini ternyata juga terjadi pada hampir seluruh anak di Indonesia atau bahkan di dunia. Mendapat motivasi belajar agar ‘jadi orang’ di kemudian hari. Agar dapat menjadi pejabat, pengusaha, atau profesi apapun yang mendatangkan banyak uang. Bagi orang kampung yang menyekolahkan anaknya di kota, diharapkan suatu saat nanti ketika anaknya kembali sudah menenteng mobil mewah. Turun dari jok supir dengan kemeja putih dan dasi serta setelan jas tiada noda. Tanda seorang pengusaha atau pejabat. Dompet tebal dan istrinya cantik. Tidak kurang suatu apapun.

Sebagian besar diantara kita menganggap keberhasilan itu sebagai kekayaan. Kaya uang kaya materi. Seseorang tidak akan pernah dikatakan berhasil jika tidak memiliki tabungan yang banyak atau menjadi pejabat penting dalam sebuah perusahaan. Atau setidak-tidaknya berprofesi sebagai dokter, akuntan, atau karyawan bank yang mendulang banyak uang. Semua ini adalah indikator keberhasilan yang dibangun dalam kepala hampir setiap orang. Sehingga tidak heran, untuk mencapai tujuan itu ditempuh berbagai macam cara. Dari yang paling aman hingga yang paling merusak. Merusak lingkungan dan tatanan sosial.

Orang-orang berangkat pagi hari ke kantor. Menaiki mobil pribadi atau kendaraan umum. Berjalan tegak hampir tanpa pernah menyapa orang di sekelilingnya. Seperti yang diceritakan oleh seseorang yang katanya sudah keluar negeri, orang di sana jalannya cepat. Hampir tanpa menoleh. Tatapannya selalu ke depan. Di Indonesia, di lampu-lampu jalan hampir setiap saat ada pengemis. Terkadang mereka mengetok kaca mobil kiranya orang di dalam berbaik hati memberinya uang makan untuk hari itu. Tentu saja bagi kebanyakan orang hal ini merusak pemandangan. Anak-anak jalanan yang mengemis atau menjajakan koran dianggap sampah kota. Sehingga harus disingkirkan.

Layaknya hewan langka di kebun binatang, budaya bertegur sapa sudah hampir punah. Seolah sungguh mahal senyum itu. Begitupun dengan gotong royong. Hampir tidak pernah kita temukan lagi. Jika anda melihat sekelompok massa sedang membersihkan selokan-selokan, mudah ditebak mereka itu sekumpulan orang dengan profesi yang sama, menjadikan aktifitas itu sebagai liburan dari rutinitas kantor yang menyesakkan dada. Susah kita dapatkan penduduk dalam satu lingkungan, melalui kepala lingkungan setempat bekerja sama membersihkan sampah-sampah. Bahkan ketika diajak sekalipun, sebagian mereka bertanya, “ada uangnya tidak?

Segala sesuatu diukur dengan uang. Hingga menyumbang pun diukur dengan uang. orang-orang susah menyisihkan penghasilannya jika tahu tidak akan ada balasan apa-apa. Semua sibuk mengumpulkan uang. Orang-orang bekerja karena uang. Mahasiwa duduk di bangku kuliah karena uang. Dosen pun mengajar karena uang. Akibatnya pun sangat jelas. Korupsi merajalela. Pembangungan yang telah lama direncanakan harus hancur dalam sekejap karena bahan bangunannya kurang padat. Jembatan dibangun dengan komposisi semen seadanya. Yang penting proyek selesai sesuai jadwal kontrak. Pejabat menduduki jabatannya dengan riangnya. Menjarah uang rakyat secara berjamaah. Janji dan sumpah setia yang telah diikrarkan di depan rakyat telah berlalu seiring berlalunya pemilu.

Ironis memang, setiap hari kita berdialog tentang penyelesaian masalah bangsa. Mulai dari kerusakan lingkungan hingga sosial. Mulai penjarahan hutan hingga tindak kriminal yang tiada henti, tetapi pada saat bersamaan kita menumbuhkan bibit-bibit kerusakan itu. Kita memotivasi anak-anak untuk belajar. Motivasi duniawi. Uang, kekayaan, prestise, gengsi, dan sebagainya. Kita tumbuh dengan pola pikir duniawi. Kita lupa bahwa semua itu akan binasa. Akan hancur seiring hancurnya dunia ini. Atau ketika kita meninggal nanti. Meninggalkan semua kekayaan, semua prestise, semuanya. Yang telah kita bangun selama ini sebagai hasil kerja keras dan belajar sejak kecil. Padahal kita tidak pernah benar-benar memilikinya.

Tak perlu dipertanyakan lagi, segala persoalan yang menimpa diri kita, bangsa kita, bersumber dari kita sendiri. Seperti jargon demokrasi, “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Benar. Kita yang memupuk bibit persoalan, kita juga yang memeliharanya, dan kita pula yang mendulang hasilnya.

Mari kita simak berita yang disampaikan Allah. Dalam kitab-Nya Al-Qur’an Al-Karim:

“Sungguh telah ada pada bangsa Saba itu tanda-tanda kekuasaan Kami. yaitu surga di sebelah kanan dan kiri mereka. Makanlah dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada kamu dan syukurilah. Niscaya negerimu akan menjadi negeri yang makmur dan mendapat ampunan dari Tuhan mu.” (QS. Saba: 15)

Ayat di atas menggambarkan kekayaan negeri Saba. Selanjutnya Allah membiarkan penduduk Saba mengelola kekayaan alam yang telah dianugerahkan kepada mereka. Bersamaan dengan itu Allah memerintahkan mereka untuk bersyukur. Berterima kasih atas segala nikmat yang dianugerahkan kepada mereka.

Mirip dengan negeri kita yang kaya sumber daya alam. Allah membiarkan kita mengelolanya dengan cara apapun. Dan tentu menyuruh kita bersyukur. Berterima kasih dengan cara menjalankan syariat Allah. Entah banyak atau sedikit, perintah bersyukur tetap tak dapat lepas dari kita. Sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syariat yang menjaga hubungan kita dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan alam itu sendiri. Sebab betapa banyak nikmat Allah yang kita gunakan selama hidup kita.

“Dan sungguh jika kamu menghitung nikmat Allah niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya”

Masih dalam surah Saba, ternyata setelah diberi nikmat yang banyak oleh Allah, penduduk Saba hanya mampu memakannya dan tidak pandai bersyukur. Maka Allah mengazab mereka

“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan kami ganati kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl[1], dan sedikita dari pohon Sidr[2].)

Kita tak dapat mengelak bahwa banyaknya bencana di negeri kita merupakan azab dari Allah. Kita telah dihantam dengan berbagai gempa bumi, banjir yang melanda setiap tahun, kekeringan di musim kemarau dan sebagainya. Itu yang bersifat alami. Dalam kehidupan sosial, tindak kriminal bukan lagi barang asing. Hampir setiap hari kita disajikan tayangan kekerasan dan berita mengenaskan. Sudah susah saling menolong. Jadwal harian yang padat membuat kita tak sempat bersilaturrahim kepada kerabat kita. Seribu satu alasan untuk tidak berkunjung, tetapi tidak ada alasan untuk tidak bertemu kolega bisnis. Kita bahkan hampir tidak mengucapkan salam kepada saudara kita yang bertemu di jalan.

Itulah salah satu tuntunan syariat yang kita tinggalkan. Selain itu, kita sudah sangat banyak melalaikan shalat. Kita membuat jadwal kuliah yang menyeberangi waktu shalat. Dengan alasan menuntut ilmu, setiap hari kita hanya mendengarkan azan, lalu lanjut kuliah. Padahal fungsi azan adalah memanggil orang shalat.

Allah berfirman:
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditetapkan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa: 125)

Kita melihat banyaknya kerusakan bukan karena gagalnya pembangunan. Pembangunan fisik. Kekacauan dalam tatanan sosial maupun alam lebih karena kegagalan kita membangun bangunan di dalam hati. Yaitu bangunan keimanan dan ketakwaan kepada sang Pencipta. Kita lupa bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Kita lupa bahwa harta yang kita tumpuk akan dipertanggung jawabkan di hari kiamat nanti. Semakin banyak yang kita kumpulkan akan semakin banyak pula yang kita pertanggung jawabkan. Kita lupa bahwa Allah tidak melihat berapa banyak uang yang kita dapatkan, atau pendidikan yang kita raih, atau apa jenis pekerjaan kita, tetapi Allah melihat hati kita dan amalan kita.

Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada wajah dan hartamu, tetapi Allah melihat pada hati dan amalanmu”

Ya, bangunan dalam hati. Bangunan keimanan kepada Allah. Ibarat sebuah kampung yang sangat kekurangan, bahkan untuk minyak goreng saja mereka harus berbagi dengan tetangganya. Adalah keliru jika orientasi pembangunannya adalah memperbanyak suplai minyak gorengnya. Yang perlu dilakukan justru membangun budaya saling peduli antar sesama penduduk kampung itu. Setelah mampu berbagi barang yang sedikit, barulah kita menambah jumlah minyak goreng dalam kampung. Sebab manusia itu jiwa. Bukan sekedar susunan komponen biologis yang kasat mata.

Lalu dimana peran mahasiswa?

Umumnya kita semua memahami peran mahasiswa dalam kehidupan bemasyarakat. Terlebih jika ditambah dengan tanggung jawab intelektualnya. Mahasiswa diharapkan menjadi motor penggerak dalam perbaikan masyarakat. Membangun masyarakatnya dengan moral yang menjadi ruh dalam pembangunan fisik.

Ruh?

Ya, ruh.

Allah azza wa jalla berfirman:

“Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa pastilah Kami bukakan bagi mereka pintu-pintu rahmat dari langit dan bumi. Tetapi…”

Jelaslah, tanggung jawab mahasiswa sebagai agen of change, moral force, dan social control, diawali dengan peran mereka membuat masyarakatnya beriman dan bertakwa kepada Allah azza wa jalla. Menjelaskan dan mendidik umat manusia tentang kehidupan dunia yang sementara dan kehidupan akhirat yang kekal abadi. Mengarahkan mereka pada ketaatan yang tegak di atas sunnah. Barulah masing-masing kita berkarya sesuai jurusan dan keahlian masing-masing. Sebagai mahasiswa yang lebih banyak pengalaman dan pengetahuan, hendaknya kita mengingatkan umat ini akan firman Allah:

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaithan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (QS. Luqman: 33)

Bukannya menjejalkan teori-teori nyeleneh yang justru menjauhkan masyarakat dari Allah. Merekalah mahasiswa yang intelek, dan itulah tanggung jawabnya.[]
Al-Mubaraq, 10 Muharram 1433

Source : http://formis-selayar.blogspot.com/2012/05/mahasiswa-dan-tanggung-jawab.html